Peran Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia lebih terfokus pada administrasi pemerintahan

0

Purwakarta. Sesuai UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), disebutkan bahwa ASN adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja ( P3K) yang bekerja pada instansi pemerintah. ASN tentu saja memiliki peran yang sangat strategis dalam menjalankan roda pemerintahan dan menjalankan amanat pelayanan publik, mulai dari level pemerintah pusat, provinsi hingga kepada level kabupaten dan kota.

Untuk dapat menunjukan eksistensi peran ASN dewasa ini di mata masyarakat bukanlah suatu hal yang mudah, karena citra yang selama ini sudah terlanjur melekat dalam diri ASN di mata masyarakat umum cenderung mengarah kepada hal yang kurang baik bahkan cenderung negatif. Dikutip dari Media Indonesia.com terkait hasil penelitian pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis ( FEB ) Universitas Indonesia pada tahun 2019 menunjukkan bahwa citra seorang ASN atau yang dulu lebih dikenal sebagai Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) sangat melekat dengan citra negatif diantaranya : bolos kerja, biang korupsi, makan gaji buta, indisipliner, etos kerja rendah, serta tidak profesional.

Sebelum reformasi birokrasi, peran Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia lebih terfokus pada administrasi pemerintahan dan pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, di bawah sistem birokrasi lama, ASN cenderung memiliki sikap yang lebih pasif dan berorientasi pada perintah atasan. Mereka dianggap sebagai “pekerja” yang harus menjalankan tugas-tugas rutin yang diberikan oleh pemerintah, tanpa banyak ruang untuk berinovasi atau mengambil inisiatif sendiri. Kondisi tersebut menjadi tamparan dan cambuk yang cukup menyakitkan bagi para birokrat hari ini, sehingga perlu adanya upaya transformasi citra dan peran ASN.

Seiring dengan pertumbuhan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dewasa ini, pemerintah telah menerbitkan regulasi berupa Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025 yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2010, hal ini tentu saja merupakan angin segar yang diharapkan dapat merubah pola kerja yang pada awalnya birokrasi yang hanya berorientasi pada peraturan ( rule based bureaucracy ) menuju performance based bureaucracy yang lebih berorientasi pada hasil.

Pemerintah nampaknya menyadari betul bahwa reformasi birokrasi di Indonesia berjalan sangat lambat akibat pola pikir dan perilaku birokrat yang belum berkomitmen untuk berubah. Oleh karenanya, tepat jika Presiden Joko Widodo kemudian mengeluarkan semangat perubahan melalui “Revolusi Mental”.

Revolusi mental memang dirasa perlu dilakukan untuk mengubah mindset dan culture set aparatur yang selama ini seolah berperilaku layaknya priyayi. Revolusi mental menekankan tiga aspek penting yang harus ditanamkan, yaitu : integritas, etos kerja, dan gotong royong. Ketiga hal tersebut yang kemudian harus diaplikasikan oleh birokrat dalam rangka percepatan reformasi birokrasi.
Menpan RB Abdullah Azwar Anas dalam salah satu kegiatan yang dilaksanakan di Universitas Padjadjaran Bandung beberapa waktu yang lalu, menyatakan mengelola birokrasi adalah hal yang penting, karena birokrasi merupakan mesin dari pelayanan. Ibarat mobil, apabila mesinnya kotor, maka tidak bisa dikendarai optimal. “Di Republik ini birokrasi ini engine. Maka harus kita perbaiki sama-sama,” ujar Azwar Anas. Azwar Anas pun dalam kesempatan tersebut mengajak semua untuk dapat berpikir out of the box.

Berbagai permasalahan negara tidak akan selesai dengan saling menyalahkan. Perlu ada inovasi dan solusi. Untuk itu, Menpan dan tim di Kemenpan RB hadir ke sejumlah Pemda dan perguruan tinggi untuk berdiskusi mengenai program prioritas, salah satunya RB tematik atau RB yang berdampak. Program tersebut berdasar dari arahan Presiden Joko Widodo mengenai reformasi birokrasi, di mana birokrasi ini harus berdampak, bukan tumpukan kertas, serta harus lincah dan cepat.

Setelah dicanangkannya gerakan reformasi birokrasi, peran ASN (Aparatur Sipil Negara) tentu diharapkan mengalami perubahan yang signifikan. Reformasi birokrasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan publik yang lebih baik, melalui beberapa peningkatan peran diantaranya : Pelayanan Publik yang Berkualitas; Transparansi dan Akuntabilitas; Inovasi dan Perubahan; Kolaborasi Antar instansi; Pembangunan Profesionalisme serta Mendorong Partisipasi atau keterlibatan Masyarakat.
Peran ASN setelah reformasi birokrasi mencerminkan upaya untuk menciptakan birokrasi yang lebih responsif, efisien, dan akuntabel. Dalam konteks ini, ASN diharapkan dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik, bekerja secara profesional, berkolaborasi dengan baik, dan mempromosikan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, serta ASN dituntut untuk dapat berperan mengakomodasi pertumbuhan dan perubahan masyarakat dalam skala besar ( skalabilitas ).

Dengan sistem reformasi birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah, beberapa bukti nyata implementasinya adalah digitalisasi pelayanan perizinan yang terintegrasi; digitalisasi pelayanan kependudukan yang saat saat ini sudah berjalan dengan baik dan sangat membantu masyarakat luas.

Menjawab pertanyaan pada judul artikel di atas, mungkinkah transformasi peran ASN tersebut dapat diwujudkan ? Kelompok 1 PKA Angkatan 2 Puslatbang PKASN LAN RI tahun 2023 memiliki optimisme bahwa hal tersebut sangatlah mungkin untuk diwujudkan, namun upaya percepatannya sangat tergantung pada berbagai faktor, diantaranya : komitmen pemerintah, sarana prasarana pendukung; kesediaan dan keterlibatan ASN secara intens; mekanisme rekruitmen ASN yang lebih baik; dukungan instrument regulasi yang memadai serta perubahan budaya.
(Elga Setiawan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *